06 Desember 2016

Minta Izin VS Minta Maaf

Di rapat terahir untuk acara Camp Kebersamaa Pengurus Komisi Remaja, ada topik yang cukup menarik. 
Sebenarnya cuma kalimat biasa yang dilontarkan oleh Riko.

"Lebih gampang minta maaf daripada minta izin."

Kita kemarin itu lagi membahas masalah budgeting untuk konsumsi yang mau kita salahgunakan atas nama kebaikan dengan berpura-pura tidak tahu, lalu nanti ketika masa pertanggungjawaban tiba, kita tinggal minta maaf. Daripada kita harus bersusah meminta izin di awal untuk mewujudkan konsumsi yang kita udah tau peraturan bakunya, pasti akan dijawab tidak. Maka tercetuslah kalimat tersebut oleh Riko.

Menarik.

Membuat gw berpikir lanjutannya, yaitu

"Lebih sulit memaafkan daripada mengizinkan"

Hal ini buat gw sih. Kalo udah salah, buat gw lebih sulit memaafkan sebuah kesalahan. Karena gw anaknya pendendam, dan selalu inget-inget terus kesalahan orang. Haha. 
Buat gw lebih gampang mengizinkan. Dengan mengizinkan, gw bisa melakukan tindakan preventif. Misalnya aja izin untuk telat, buat gw lebih baik lu ngomong di awal daripada udah kejadian baru lu minta maaf. Atau kalau misalnya lu telat, kan bisa gw tinggal, atau gw memutuskan untuk menunggu. Tapi setidaknya ada pemberitahuan lebih dahulu. Daripada tanpa kabar, datang telat, lalu tinggal minta maaf.

Ya, itulah secuplik kalimat Riko yang gw buat jadi quotes of the day pada hari itu, cuma baru sempet nulis sekarang.

P.S: konsumsi nya akhirnya kita gak jadi pakai cara curang kok. Hehe

Mempertahankan

Tulisan yang sempat gw sebut di entri sebelumnya, yaitu soal mempertahankan.

Ketika bertahan kita mengeluarkan tenaga lebih. Karena memiliki ekspektasi lebih dari sebelumnya, ambisi yang lebih besar dari sebelumnya. Menjadi jumawa karena telah mencapai titik yang kita anggap sudah puas, tetapi lupa untuk mempertahankannya pun butuh usaha lagi. Sehingga tidak jarang kita gagal mempertahankan apa yang telah kita miliki.

Gw ingat pernah membaca sebuah ilustrasi. Seorang pembicara membawa gelas yang berisi air setengah. Para penonton merasa sudah tau apa yang akan dibicarakan mengenai gelas ini. Pasti lagi-lagi mengenai cara pandang manusia antara "setengah terisi" atau "setengah kosong", yang menandakan cara pandang manusia yang optimis atau pesimis.

Tetapi ternyata pembicara itu membicarakan hal yang berbeda. Ia bertanya, "Menurut saudara, berapa lama seorang manusia dapat memegang gelas yang berisi air setengah ini? Lima menit? Lima puluh menit? Lima Jam?" Penonton pun berusaha berpikir. 

Isi dari gelas yang cuma setengah itu tidak akan menjadi beban bagi yang memegangnya selama lima menit. Tapi akan mulai terasa berat apabila digenggam selama lima puluh menit. Terlebih lagi selama lima jam memegang gelas yang cuma berisi setengah menjadi penderitaan.

Pembicara itu mengibaratkan gelas sebagai stress yang seharusnya tidak lama-lama kita pendam. Tapi buat gw yang memorable itu adalah bagian bertahan. Berapa lama kita mampu bertahan pada posisi yang sama seperti memegang gelas yang adalah masalah itu?

Itulah makanya menurut gw posisi bertahan lebih sulit, daripada mencapai sesuatu.

16 November 2016

Gelindingan

Kehidupan ibarat roda yang melingkar.
Terkadang kita berada di titik teratas, tapi semuanya tidak bertahan lama.
Tunggu saja roda itu berputar sehingga kita berada di titik terbawah.

Oke, ini semua klise dan gw gak pernah bermaksud untuk bikin blog motivasi.
Gw cuma mau membagikan hal-hal yang sempat melintas di dalam pikiran gw.
Pernah gak kita berpikir bahwa kehidupan bukan hanya berputar seperti roda.
Bukan cuma menunggu kita berada di titik teratas atau terjatuh hingga di titik terbawah
Melainkan :

menghancurkan roda tersebut

Pemikiran ini terinspirasi dari film seri favorit gw Game of Thrones.
Di situ ada tokoh seorang ratu yang memulai mengumpulkan kekuatannya benar-benar dari gak punya suatu apapun.
Dia punya strategi dan intuisi yang tepat, dan tentunya disertai hati yang tulus.
Ketika dia berusaha mengambil kembali kursi kekuasaan yang dahulu memang dimiliki oleh bangsanya,
salah seorang penasehatnya mengatakan, "Kekuasaan itu gak akan ada habisnya, semuanya akan berputar seperti roda"
Tetapi Si Ratu ini berkata bahwa dia gak akan membiarkan roda itu menentukan posisinya sekarang ada di bawah atau di atas
Melainkan dia akan menghancurkan roda tersebut.

Konsep ini yang pengen gw bagikan, Jangan pernah orang mendefinisikan kita sedang berada di titik mana dalam roda kehidupan ini.
Karena kita bukan sebuah jiwa yang dibungkus fisik untuk menggelinding pada sebuah roda.
Kita punya kemampuan untuk berjalan lurus ataupun mendaki tanjakan curam.
Ketika menanjak itu, kita berada dalam posisi harus mengeluarkan energi lebih untuk mencapai puncak.
Itulah sebabnya untuk mencapai posisi di atas, pasti gak mudah, ada usaha lebih yang harus dikeluarkan.
Orang bilang yang sulit itu mempertahankan posisi kita sekarang daripada meraihnya. Iya, betul.

Fase yang beda lagi : Mempertahankan.