21 Oktober 2014

Harapan dan Iman

Sedikit membahas euforia pelantikan Presiden Republik Indonesia ketujuh dari sisi lain.
Dari sisi tukang saya. Seorang Tukang Kayu.

Hari Minggu malam, saya mengirimkan pesan singkat supaya ia bersiap besok pagi untuk pergi bersama saya mengukur ke lokasi. Dengan lugu nya, dia bales, "Okkk. Habis ngukur, ke monas ya nonton konser salam 3 jari. hehehehe" Saya sampe gak tahu harus berkata apa. Cukup menghibur pastinya.

Sudah banyak liputan baik lisan, tulisan, foto, video, dan media lainnya yang menyajikan pelantikan presiden yang beda dari yang lainnya. Kali ini, Beliau adalah rakyat biasa yang juga pernah hidup di "bawah". Makanya Beliau tampak begitu menyatu dengan rakyat.

Tapi kecemasan sempat ada dalam benak Beliau. Ketika Rakyat begitu berlebihan menaruh ekspektasi di pundaknya. Seakan semua harapan menggelayuti bahu pemimpin yang kurus tersebut. Beliau hanya berkomentar bahwa semua yang berlebihan itu tidak baik. Bukan berarti ia tidak akan memberikan kemampuan maksimalnya, Tetapi ia juga seorang rakyat, yang dari kalangan kita juga.

Sama seperti kita yang seringkali menaruh harapan, memiliki rencana ini dan itu. Dan akan sangat mudah kecewa ketika harapan kita terlalu tinggi. Karena kita semua masihlah manusia, karena masih sangat banyak faktor yang di luar kendali kita. Layaknya perkataan pepatah "Manusia berencana, tetapi Tuhan yang menentukan."

Ketika kita meletakkan harapan pada Tuhan, bukan tidak mungkin kita tidak kecewa. Tetapi yang dibutuhkan adalah iman. Iman untuk percaya akan apa yang tidak bisa dilihat. Percaya bahwa ada rancangan yang indah yang telah disiapkan bagi kita.

Terlihat mudah menuliskan dan mengucapkannya. Bagaimana menjalaninya?

11 Oktober 2014

kata"nya"

Katanya.
Entah siapa yang mengambil peran "nya" dalam akhiran tersebut. Semacam kata-kata bijak, kata dari orang-orang tua pendahulu kita. Terkadang sulit dipahami, kalau kita gak mengalami sendiri.

Katanya, gak ada yang abadi di dunia ini. Ya, setiap waktu berharga. Momen yang tercipta itu unik. Mulai dari orang-orang yang terlibat di dalamnya, tempat sebuah peristiwa terjadi, hingga suasana yang membumbuinya.

Katanya, kita gak akan menghargai sesuatu sampai kita kehilangan sesuatu tersebut. Atau bahasa mudahnya, kita gak menyadari kita memiliki hal tersebut, hingga kita kehilangannya. Mungkin kita yang kurang peka, atau tidak bersyukur pernah memilikinya.

Katanya, ya katanya.

01 Oktober 2014

Simpati, Empati, dan Sepatu

Seringkali kita mendengar rasa simpati yang disampaikan seseorang kepada orang lain yang menunjukkan sebuah tenggang rasa. Ada juga yang menyatakan empati nya. Kalau saya tidak salah, mereka berdua itu berbeda. Simpati adalah sebuah pernyataan bahwa saya turut merasakan yang anda rasakan pada saat ini. Sedangkan empati adalah sebuah pernyataan bahwa saya mengerti betul dan berusaha memposisikan diri saya seperti keadaan anda sekarang.

Tapi, saya cuma mau bilang bahwa tidak ada simpati terlebih lagi sebuah empati yang membuat anda mengerti betul perasaan, situasi, dan kondisi seseorang pada saat tertentu. Alasan nya cuma satu, karena kita bukan mereka

Kita tidak menggunakan sepatu yang sama dengan mereka.
Kita tidak menjalani jalan kehidupan mereka.
Kita tidak melihat dari sudut pandang mata mereka.
Kita tidak berpikir dengan pola pikir mereka.
Kita tidak merasakan dengan hati mereka.

Ketika kita bilang kita mengetahui perasaan mereka, itu bohong. Tidak ada yang bisa mengerti dengan penuh. Cuma Tuhan yang bisa.