18 Juni 2010

Tamparan

Aku orang yang mudah tersinggung, tetapi sangat tidak suka berlama-lama berantem atau diem-dieman. Tapi tamparan kali ini bukan dari orang yang dekat, tetapi membuat diriku cukup malu di hadapan teman sejawatku.

Selasa lalu, 15 Juni 2010
Tugas teknologi arsitektur 4 dilakukan sidang sebagai bentuk pertanggungjawaban atas hal yang telah kita buat selama setengah semester. Bukan hal gampang dan mudah untuk dilalui memang. Masih terekam jelas, minggu lalu, sehari sebelum pengumpulan tugas saya dan teman sekelompok saya tidak memliki waktu tidur yang cukup. Saya melewati hari tanpa tahu batasan mana pagi dan mana malamnya.. Semuanya berlanjut dan berlalu begitu saja.

Sekarang saatnya pertanggungjawaban. Kami akan ditanyakan oleh dosen yang selama ini bukan dosen pembimbing kami. Hal ini mungkin untuk membuat nilai yang diberikan menjadi objektif dan bukan penilaian subjektif semata dari dosen yang membimbing kami selama tugas berlangsung. Sehingga terjadilah penilaian yang dilakukan oleh dosen lain.

Karena bukan saat yang seharusnya sidang tersebut berlangsung (penundaan terjadi karena si dosen penguji sakit), teman sekelompok saya harus menjalani ujian yang berlangsung di waktu yang sama dengan waktu sidang tersebut.

Tibalah giliran saya disidang. Sedangkan teman sekelompok saya masih harus menjalani ujiannya. O.o... Saya menjadi semakin grogi dan takut karena menghadapi sidang sendirian..

Tugas saya ini membicarakan sistem bangunan tinggi. Bangunan yang saya pilih adalah salah satu hotel di Jakarta.

Dosen penguji ini bertanya, " Hotel in tidak ada jendelanya nih?"
saya menjawab, "Mungkin karena skalanya kecil, jadi ga keliatan, pak. Mustinya sih ada."
gambar yang disajikan pada saat itu adalah denah berskala 1:200

lembar demi lembar dikomentari oleh si dosen penguji, yang menurutnya tidak ada gambar yang jelas dan definitif untuk dijadikan sebuah proyek.

Berlanjut ke gambar blow up detail dengan gambar denah unit berskala 1:50
Dosen: "Ketahuan kan bohongnya. Ini di skala 1:50, jendelanya juga ga ada. Memang tidak dibuat kan?"
Saya: "O iya, pak.."
Dosen:" Kamu agamanya apa?"
Saya: "Kristen, pak."
Dosen:" Setahu saya di agama Kristen juga diajarkan 'Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan'. Sama saja seperti 'takut berbohong adalah permulaan pengetahuan."

ya, inilah tamparan yang saya maksudkan. gemetar memang ketika ditanya agama yang menurut saya itu adalah hal yang tidak biasa disentuh dalam dunia universal seperti di kampus. terlebih ketika saya mendengar kalimat dari dosen tersebut.
Saya merasa gagal dan telah mencoreng nama Kristen, setidaknya dalam pandangan si dosen yang saya tidak ketahui agama yang ia percayai.

Saya:"Iya, pak.."
Dosen: "Ya, akui sajalah kalo memang salah. Dengan begitu saya juga akan puas, dan tidak ada dendam lagi. Kalo memang salah, kenapa harus membela diri?"
Saya:" Iya, pak saya salah.."

Ya, ini juga tamparan kedua. Saya orang yang seringkali bersikukuh dan tidak mau disalahkan. Sering menggelincirkan diri dari penuduhan dan tidak mau jadi tersangka.

Dan kali ini saya akan memberikan pengungkapan yang mungkin masih menjadi bagian dari sifat saya untuk mengelak dari kesalahan?

Tugas tersebut saya kerjakan berdua dengan teman sekelompok saya. Dan bagian denah berjendela itu adalah bagian teman saya yang mengerjakannya. Saya juga turut mengerjakan, namun berupa tindak lanjut dari bagian yang ia kerjakan, sehingga saya tidak memeriksa kembali apa yang telah ia kerjakan, dan tidak menyadari kekurangan tersebut.

Seharusnya ketika ditanyakan jendela, memang salah saya. Karena saya takut dianggap tidak tahu dalam pengerjaan tugas, maka saya menjawab asal. Berimbaslah ke kasus berikutnya.

Dari sidang hari itu saya belajar untuk:
Tidak berbohong- karena kebohongan akan membuahkan kebohongan lain dan teruslah ia beranak cucu sampai tercium kebusukannya
Mengakui kesalahan-hanya yang pemberani yang mau mengakui

Hal yang sulit memang, tapi teruslah berusaha untuk melakukan kedua hal tersebut. Hasilnya nyata:
setelah itu pertanyaan-pertanyaan dari si dosen saya jawab jujur dan lepas dari pengelakan, hati saya merasa lega dan tidak setakut sebelumnya. Si dosen pun hanya tersenyum , tetapi tetap menjadikan kesalahan saya sebagai gurauan. Yah, yang penting saya sudah belajar jujur lah, terserah ia mau mempercayainya atau tidak.